Ciptakan "Samijali" Agar Dolly Bangkit Kembali
![]() |
Ibu Dwi Menunjukkan Samijali Buatannya, sumber: hellosurabaya.com |
Surabaya (04/10) - Masih kuat di ingatan kita mengenai berita penggusuran tempat yang disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, yakni Gang Dolly yang ada di Surabaya pada tahun 2014 yang lalu. Gejolak besar pun muncul akibat keputusan yang dikeluarkan oleh walikota Surabaya ini. Tiga tahun berlalu, lalu bagaimana nasib warga terdampak penggusuran Dolly saat ini?
Juni 2014, saat itu keadaan di Kota Pahlawan ini sedang panas-panasnya. Pasalnya salah satu daerah yang tersohor di Surabaya ini kabarnya akan dibumihanguskan. Bukan taman kota, bukan pula pusat perbelanjaan atau mal, namun tempat yang akan dihapuskan itu adalah Gang Dolly, yang sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara mengalahkan dua tempat prostitusi terkenal di Thailand dan Singapura. Wacana tersebut tentu menuai banyak pro dan kontra dari banyak kalangan masyarakat. Mulai dari tokoh-tokoh agama yang setuju demi menyelamatkan iman jutaan warga Surabaya; tokoh-tokoh sosial yang kontra karena takut akan muncul “Dolly-Dolly” yang lain. Selain itu banyak pula yang menyayangkan jika wacana ini terrealisasi, maka warga-warga asli yang menetap di daerah tersebut akan kehilangan mata pencaharian mereka dari adanya Gang Dolly ini.
Nyatanya, wacana tersebut memang direalisasikan oleh walikota Surabaya sendiri, yakni Tri Rismaharini. Gang Dolly resmi ditutup pada 19 Juni 2014 dengan digusurnya rumah-rumah bordil yang ada di daerah tersebut. Meskipun warga setempat sudah diberikan dana kompensasi dari adanya penggusuran ini, nyatanya belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya berhari-hari ke depan. Bantuan pun ramai berdatangan, mulai dari pemberian pelatihan, dana, sampai pembekalan mengenai wirausaha.
Adalah Ibu Dwi, salah satu warga Putat Jaya yang merasakan dampak penggusuran oleh Pemkot Kota Surabaya. Beliau menuturkan, sejak adanya penggusuran tersebut, omset yang diterimanya setiap hari jauh berkurang dari apa yang biasa ia terima saat Dolly masih beroperasi dulu.
"Kalau dibandingkan dulu sama sekarang, jomplang memang. Dulu sehari bisa dapat seratus dua ratus,
Ibu dulu juga ngontrak di situ, dengan hasil jualan di warung, ikut arisan, alhamdulillah bisa beli rumah ini. Sejak ditutup (lokalisasi Dolly), tiap hari mesti kepikiran waduh mangan opo iki (waduh makan apa hari ini)." Ungkapnya saat ditanyai perbedaan penghasilan sejak penggusuran Dolly ini.
Ibu dari tiga orang anak ini mengungapkan memang banyak bantuan yang diberikan kepadanya dan beberapa warga terdampak penggusuran lainnya, mulai dari Pemkot, para relawan, dan salah satunya dari Gerakan Melukis Harapan (GMH) gagasan Dalu Kirom dan kawan-kawan.
GMH ini memberikan pelatihan-pelatihan pada warga Putat Jaya agar tidak terpuruk sejak adanya penggusuran ini. Mereka selain memberikan motivasi agar kembali bangkit, juga menggagas Usaha Kecil Menengah (UKM) Kreatif bagi warga di sana, antara lain minuman dari nata de coco atau sari kelapa, usaha penyablonan kaus untuk dijadikan suvenir Kampung Wisata Dolly, tempe dari bahan organik, dan samijali ini yang merupakan singkatan dari Samiler Jarak Dolly.
"Samijali ini berdiri tahun 2015, pertama dikenalkan waktu ada undangan pameran di Balai Kota ada Bu Risma, langsung tertarik beliau, alhamdulillah, dikasih banyak nasehat juga sama Bu Risma."
![]() |
Berbagai varian rasa dari Samijali |
Sejak saat itu Ibu Dwi dan kawan-kawannya dari Samijal rutin mengikuti setiap pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Meskipun dengan embel-embel Jarak Dolly yang dulu merupakan daerah "gelap" di Surabaya, namun beliau yakin nama tersebut justru akan menjadi berkah bagi beliau dan teman-temannya.
Banyak suka dan duka dalam menjalani bisnis UKM Kreatif ini. Sukanya ialah beliau bisa mengenal banyak pihak, mulai dari lurah, camat, pihak Koramil, pihak Bappenas, sampai pihak Pemkot berkat Samijali ini. Namun di balik itu, ia faham, bahwa yang namanya bisnis, pasti ada pasang surutnya. Buktinya beberapa bulan terakhir ini, ia menuturkan, usaha Samijalinya mulai tidak banyak pembeli.
Meskipun terdapat naik turun dalam hal penghasilannya tiap hari, apapun itu, Ibu Dwi tetap bersyukur karena ia bisa mencukupi kebutuhan dirinya sendiri juga ketiga anaknya setiap hari. Ia juga bangga bisa mempelopori pergerakan warga Putat Jaya yang awalnya tidak bersemangat karena adanya penggusuran di wilayah lokalisasi Dolly, kini warga di sana berapi-api untuk membangun wilayah mereka menjadi wilayah panutan bagi wilayah lain di Surabaya.
Komentar
Posting Komentar